FdBNug3og029aauasyNXlTFHjRJFgNaKycZdy6mc

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Bookmark

Pendidikan, Kunci Kebangkitan Bangsa: Semangat 20 Mei dan 2 Mei

Tanggal 20 Mei yang kita peringati saban tahun sebagai Hari Kebangkitan Nasional merupakan momen sakral dan bersejarah bagi bangsa Indonesia. 20 Mei 1908 adalah tanggal berdirinya organisasi Budi Utomo yang menandai lahirnya semangat persatuan dan nasionalisme.

Hari Kebangkitan Nasional dapat menjadi bahan bagi kita terutama kaum muda merefleksikan perjuangan para pendahulu, membangkitkan semangat persatuan, dan memperkuat tekad untuk membangun bangsa yang lebih maju.

Banyak tokoh bangsa yang terlibat dalam perjuangan menggerakan kebangkitan bangsa, di antaranya Ernest Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi), Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara (Soewardi Soeryaningrat) yang dikenal dengan sebutan Tiga Serangkai.  Peran mereka sangat penting, khususnya melalui pendirian Indische Partij (Partai Hindia), organisasi politik yang pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri. Melalui media surat kabar De Expres dan De Locomotief, Mereka menyuarakan pemikiran politik dan kebangsaan sekaligus kritik terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Berbeda dari sahabat-sahabatnya, Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara, yang tidak hanya melalui jalur politik tapi juga Pendidikan dalam berjuang, Cipto Mangunkusumo (4 Maret 1886 – 8 Maret 1943) tetap  berjalan di jalur politik. Beliau menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat).

Eduard Douwes Dekker (1820 - 1887), adalah seorang penulis terkenal. Beliau mewaris darah Belanda dari ayahnya, dan Ibunya yang berdarah Jerman-Jawa. Douwes Dekker menggunakan nama pena Multatuli (dari bahasa Latin yang berarti "aku telah banyak menderita”) pada  bukunya yang terkenal, “Max Havelaar”. Sebuah novel satir berisi kritik atas perlakuan buruk penjajah Belanda terhadap warga pribumi.

Douwes Dekker memihak kaum pribumi karena keprihatinannya terhadap penindasan dan diskriminasi yang mereka alami dari pemerintah kolonial Belanda. Perjuangannya untuk kaum pribumi juga didorong oleh kesadaran akan pentingnya kesetaraan dan keadilan sosial karena sebagai seorang keturunan Belanda dengan darah Indonesia, Beliau merasakan ketidakadilan yang dialami oleh kaum pribumi.

Pada tahun 1924, Douwes Dekker mendirikan sekolah yang diberi nama Ksatrian Instituut di Bandung, Jawa Barat. Sekolah ini didirikan dengan tujuan utama memberikan pendidikan yang lebih baik dan luas kepada anak-anak bumiputra, keturunan Tionghoa, dan Indo-Eropa.

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (1889 - 1959) yang lebih dikenal dengan nama barunya Ki Hajar Dewantara adalah tokoh pelopor pendidikan nasional. Beliau mendirikan Perguruan Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta yang menekankan kebebasan belajar, kreativitas, dan patriotisme.

Perguruan ini didirikan dengan tujuan memberikan pendidikan kepada semua anak Indonesia, tanpa memandang status sosial atau ekonomi mereka. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yang layak harus dapat diakses oleh seluruh rakyat Indonesia.

Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa pendidikan harus berpusat pada anak, memperhatikan kodrat alam dan kodrat zaman, serta mengutamakan kemerdekaan dalam belajar. Pemikirannya juga mencakup pentingnya pendidikan kultural dan nasional, serta peran guru sebagai pamong yang menuntun anak.

Ki Hajar Dewantara memiliki semboyan yang terkenal, yaitu "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani". Semboyan ini memiliki makna "Di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberi dorongan". Ki Hajar Dewantara juga menekankan pentingnya peran Tri Pusat Pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam pendidikan (Tri Pusat Pendidikan).

Pemikiran Ki Hajar Dewantara menjadi landasan penting bagi pendidikan nasional. Atas jasanya mengembangkan Pendidikan Indonesia, Presiden Soekarno memberi Beliau gelar Bapak Pendidikan nasional pada tahun 1959 dan menjadikan tanggal kelahirannya 2 Mei sebagai Pendidikan nasional.

Berkaca dari pemikiran Multatuli dan Ki Hajar Dewantara, pendidikan ideal seharusnya memberikan hak yang sama kepada seluruh anak bangsa. Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, melainkan harus menjadi sarana untuk menuntun dan mengembangkan potensi setiap individu. Oleh karena itu, pendidikan harus berpihak pada peserta didik. Dalam hal ini, guru memegang peran penting dalam menumbuhkan kecerdasan emosional dan sosial, sekaligus membangkitkan semangat nasionalisme serta cinta tanah air.


Posting Komentar

Posting Komentar