FdBNug3og029aauasyNXlTFHjRJFgNaKycZdy6mc

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Bookmark

Slow Living


Apa itu Fast living?

Diakui atau tidak, hidup yang kian kompetitif mendorong kita menjalani hidup dengan ritme yang lebih cepat. Kita “dipaksa” melakukan segala sesuatu serba cepat bahkan nyaris terburu-buru, fokus pada efisiensi dan produktivitas. Kondisi demikian memungkinkan kita tidak lagi menikmati hidup yang berkualitas. Bahkan cenderung menyebabkan kita menjadi stress yang dapat berdampak buruk pada kesehatan. Itulah poin Fast Living yang saya tangkap dari penjelasan Pak Hadyansyah S.Kom, Guru TKJ SMK Islam Sabilal Muhtadin Banjarmasin, yang menjadi pembicara dalam diskusi pendidikan P3KG SM Banjarmasin, Rabu (1/10/2025).

Pak Hady, sapaan akrab Beliau di sekolah, memberikan sebuah ilustrasi. “Bayangkan sebuah pilihan,” ujarnya. Pak Syafi'i bisa menambah penghasilan dengan membuka bengkel sepulang mengajar. Bengkelnya bisa beroperasi dari sore hingga malam, bahkan di hari libur sekalipun. Namun, di balik peluang itu, ada harga yang harus dibayar: waktu kebersamaan dengan keluarga akan berkurang, dan momen istirahat untuk memulihkan tenaga pun terampas. Padahal, kesehatan adalah investasi jangka panjang yang tak ternilai.

Oleh karena itu, mungkin jalan terbaik adalah mencari keseimbangan. Membuka bengkel selepas kerja saja sudah cukup, sementara hari libur sebaiknya benar-benar dikhususkan untuk hal yang tak kalah penting: bersantai bersama keluarga dan mengisi ulang energi untuk semangat baru di minggu depan.

Mengapa harus Slow Living?

Menurut Pak Hady, menjalani profesi dengan penuh tanggung jawab adalah sebuah kewajiban. Itu berarti kita memberikan yang terbaik sesuai dengan job deskripsi, demi kontribusi maksimal bagi masyarakat. Namun, di luar urusan pekerjaan, beliau mengingatkan satu hal penting: hidup ini singkat. Kita juga harus pandai menikmatinya.

Beliau menambahkan pentingnya pengelolaan waktu. Kita harus mampu memilah dan memilih aktivitas berdasarkan skala prioritas untuk menciptakan harmoni dalam kehidupan. Ini sangat urgen agar pikiran tidak terbebani. “Masak iya, setelah lelah bekerja, kita justru menghabiskan waktu luang di ranjang rumah sakit?”, ujarnya berkelakar.

Kemudian Beliau menjelaskan pada tahun 80-an, muncul trend slow living, yang hadir sebagai bentuk protes dari gaya hidup Fast living yang “merampas” kenikmatan hidup. Gaya hidup slow slow living adalah konsep gaya hidup yang mengutamakan kesadaran penuh (mindfulness), menghargai, dan menikmati setiap detik dalam perjalanan hidup kita.

Ada kalanya gaya hidup serba cepat terasa begitu tidak nyaman. Hidup seperti terus diburu waktu dan ditekan oleh setumpuk target yang harus dicapai tepat waktu. Yang paling disayangkan, semua itu seringkali merenggut kesempatan kita untuk menikmati hal-hal sederhana di luar rutinitas kerja.“Saya tidak mau terjebak dalam gaya hidup yang membuat saya kehilangan rasa akan indahnya kehidupan. Saya akan menciptakan lebih banyak “me time” di kebun Hidroponik untuk  bercengkrama dengan tanaman,” tegas Pak Hady.

Kapan Slow Living sebaiknya dimulai?

Di tengah diskusi, muncul pertanyaan yang sangat mengena dari Bu Tati Akhbariyyah, seorang pengajar SMK ISM Banjarmasin yang juga sedang menempuh studi doktoral di ULM Banjarmasin. Dengan rasa penasaran, beliau bertanya, "Kapan sebenarnya waktu yang tepat untuk memulai gaya hidup slow living ini? Apakah harus menunggu sampai kondisi kita sudah benar-benar mapan, atau justru harus dimulai dari sekarang?" Menanggapi ini, Pak Hady memberikan jawaban yang tegas. "Kita bisa—dan sebaiknya—memulainya dari sekarang. Lakukan secara perlahan, tapi dengan konsistensi dan perencanaan yang matang."

Pentingnya keseimbangan dalam hidup

Saya sangat sependapat dengan Pak Hady. Pada hakikatnya, hidup ini begitu indah untuk dinikmati—baik dalam heningnya momen refleksi sendiri, maupun dalam riuhnya canda tawa bersama keluarga.

Menikmati hidup bukan berarti lari dari tanggung jawab. Kunci utamanya adalah menemukan keseimbangan: tetap memenuhi kewajiban kita, baik kepada keluarga, masyarakat, maupun negara, sambil tetap menyempatkan diri untuk benar-benar hidup. Menurut saya, prinsip mindfulness yang Pak Hady sampaikan inilah kunci untuk menciptakan harmoni. Dengan kesadaran penuh, kita bisa menjalani hidup yang tidak hanya produktif, tetapi juga tenang, nyaman, dan seimbang

  

0

Posting Komentar